Dalam rangka untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di tahun 2015, LPM Farsigama mengulas tentang pengalaman kerja dari beberapa alumni yang bekerja di kancah Regional ASEAN maupun gobal.
MEA 2015 memiliki lima pilar yaitu: free flow of goods, service, investment, capital and skilled labour. Pada pilar terakhir ditekankan kepada tenaga kerja terdidik dan terlatih bekerja dalam cakupan regional ASEAN. Hal ini memberikan peluang perluasan kesempatan bekerja, namun di sisi lain juga sebagai tantangan dalam hal pasar kerja, yakni menjadi semakin kompetitif.
Pengalaman yang akan diulas kali ini adalah dari Titi Ratna Wijayanti, alumnus Farmasi Sains dan Teknologi UGM 2002. Setelah menyandang gelar Apoteker pada tahun 2007, Titi hijrah ke Singapura untuk melamar beasiswa Master di National Universty of Singapore. Di samping itu, Titi juga memasukan aplikasi bekerja di industri farmasi maupun rumah sakit. Alhasil, nasib mengantarkannya pada bidang yang tak digelutinya ketika kuliah S1 yaitu farmasi rumah sakit. Meskipun demikian, Titi mengaku tak begitu mempermasalahkan karena sejatinya menjadi apoteker memang harus siap untuk belajar seumur hidup dengan rajin mengupdate informasi seputar kefarmasian atau informasi lain yang mendukung.
Karir Titi di Singapura dimulai sebagai pharmacy assistant yang posisinya di bawah posisi asisten apoteker. “Alexandra Hospital tempat saya bekerja mengakui ijasah S1 sehingga sebenarnya saya berhak menjadi asisten apoteker, namun karena belum memiliki pengalaman kerja di Indonesia, maka posisi untuk saya diturunkan lagi menjadi asisten AA”, ujar Titi.
Perbedaan iklim pendidikan farmasi di Singapura dengan Indonesia merupakan salah satu tantangan bagi para apoteker Indonesia yang hendak bekerja di Sungapura. “Lama pendidikan farmasi di Singapura pada bangku kuliah adalah 4 tahun. Dilanjutkan fresh graduate menjadi pre registration pharmacist di Rumah Sakit selama 9 bulan. Gambarannya seperti residensi dokter spesialis di Indonesia, dimana pre registration pharmacist benar-benar tidak punya kehidupan untuk diri mereka sendiri. Dikarenakan selain harus mengikuti pekerjaan sehari-hari, mereka memiliki jadwal diskusi, tugas, ujian dan dan presentasi diluar jam kerja residens”, papar Titi.
Dari sini, Titi mengaku bahwa saat itu tantangan terberat memasuki pasar kerja di Singapura adalah status kewarnganegaraan dan lisensi praktek profesi.
Setelah mengalami berbagai rotasi pekerjaan, tes pengetahuan dan semua proyek-proyek yang harus dikerjakan, akhirnya Titi mendapat kesempatan dari rumah sakit tempat ia bekerja untuk menjadi asisten apoteker. Sebagai asisten apoteker, tugas yang ia emban kala itu meliputi screening resep baik dari segi administrasi, farmasetik dan klinis; melakukan intervensi dengan dokter jika diperlukan; melakukan pengambilan dan penyerahan obat; serta menerima pembayaran dan inventori.
Untuk dapat bekerja dan survive di Singapura, selain bekal ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan, kemampuan bahasa Inggris merupakan satu komponen penting. Dalam mengasah kemampuannya berbahasa Inggris, Titi mengaku banyak belajar dari pengalamannya mengajar di sekolah minggu juga dari rekan sejawat. Menurutnya bahasa adalah hal yang harus dipraktekan. Walaupun kita belajar bahasa Inggris sejak kecil, namun adjustment dan continous learning perlu dilakukan ketika sampai di Singapura atau di luar negeri manapun.
Selain di Alexandra Hospital, Titi pernah bekerja beberapa rumah sakit di Singapura seperti Khoo Teck Puat Hospital, Parkway Cancer Centre, Mount Elizabeth Hospital dan Jurong General Hospital. Namun kini Titi bekerja di sebuah Rumah Sakit di Jakarta mengikuti suami setelah tujuh tahun merantau di Singapura.
Titi berpesan kepada seluruh mahasiswa Fakultas Farmasi UGM untuk selalu berikan yang terbaik. “Karena banyak mata memandang dan menyaksikan apa yang kita lakukan. Mereka semualah yang bisa merekomendasikan kita untuk bisa mendapat kesempatan berikutnya yang lebih baik”. Menurutnya nilai positif bekerja di luar negeri adalah dapat mempunyai kesempatan untuk bekerja sama dengan orang-orang dari berbagai negara dengan berbagai budaya.
Seperti itulah gambaran tentang kinerja dan pendidikan farmasi di Singapura. Di balik kebanggan kita sebagai seorang calon pharmacist di Indonesia, ternyata masih banyak tugas yang harus kita emban jika kita ingin turut berpartisispasi di MEA 2015 terkait pengembangan pendidikan farmasi maupun kinerja pharmacist Indonesia agar mampu bersaing di kancah regional ASEAN maupun internasional. Semoga dengan sedikit ulasan dari Titi Ratna Wijayanti dapat menjadikan semangat dan motivasi sahabat Farsigama dalam menyongsong MEA 2015.
(wawancara oleh bu Marlyn, dituliskan kembali oleh Anissa -red-)